Surat Lapatau yang Menggugah dan Legendaris

OLEH L. Y. ANDAYA

Surat ditulis oleh keponakan yang juga meng- gantikan Arung Palakka  La  Tenritatta,  Matinroé ri Bontualak (m. 1672-1696) yang terkenal, La Patau (Matinroé ri Nagauleng (m. 1696-1714), dan merupakan istri utama Arung Palakka, yaitu putri Sira Daeng Talele Karaeng Ballajawa.

Ditulis tidak lama menyusul kematian Arung Palakka, surat ini merujuk pada sebuah pertikaian lama antara Datu Soppeng To-Ésang dan Arung Palakka.  

Menyusul kematian Datu Soppeng La Tenribali di tahun 1678, putra keduanya, To-Esang menduduki tahta oleh karena abangnya yang juga merupakan pewa- ris tahta, meninggal di usia muda di tahun 1669 pada penghujung perang Makassar.

La Tenribadli sangat meragukan kemampuan putra keduanya, dan Arung Palakka melakukan segala hal untuk menghalangi putra tersebut berkuasa di Soppeng. To-Ésang memanfaatkan kematian Arung Palakka di tahun 1696 untuk menggeser penguasa Soppeng ketika itu, Datu ni Watu (dalam surat dise- but “Datoe Dijwasoe” dan “Dato Dijwatoe”) dan kemudian mengangkat dirinya sendiri sebagai penguasa Soppeng.

Selanjutnya surat ini menuturkan sejumlah peristiwa yang berujung pada kampanye yang dilancarkan La Pata yang berhasil mengalahkan To-Ésang dan kemudian mengem- balikan Datu Riwatu ke tahta Soppeng.

Di akhir abad ke enam belas, kerajaan Makassar Gowa yang terletak di  bagian Barat Daya seme- nanjung pulau Sulawesi di Indonesia berkembang menjadi kekuatan besar di kawasan tersebut.

Pada pertengahan pertama abad ke tujuh belas, kerajaan tersebut berhasil memasukkan banyak kera- jaan di Indonesia Timur di bawah kekuasaannya, dan menguasai kegiatan perdagangan menguntungkan yang memperjualbelikan cengkeh, pala serta bunga pala yang berasal dari Maluku Utara.

Sesudah Gowa memeluk agama Islam di tahun 1605, kerajaan ini mulai melancarkan apa yang dikenal sebagai rentetan “Perang Islam” yang ber- hasil  memaksa  sejumlah   kerajaan   non-Muslim di jazirah tersebut untuk juga memeluk agama Islam.

Rentetan perang tersebut berakhir di tahun 1611 dengan penaklukan serta pengislaman Bone, yaitu kerajaan Bugis paling berkuasa ketika itu. Rakyat Makassar dari Gowa kemudian  ditenga- rai oleh orang Bugis sebagai penjajah mereka, dan di pertengahan abad ke tujuh belas banyak orang Bugis yang berasal dari sejumlah kerajaan Bone dan Soppeng dihimpun di kota Makassar untuk membangun sejumlah kubu sebagai persiapan menghadapi serangan yang ditakutkan dari Kom- peni (VOC).

Perlakuan keras dan kasar terhadap buruh paksa Bugis tersebut , ditambah dengan stigma yang dikaitkan dengan pengislaman paksa yang terjadi sebelumnya di abad tersebut, melahirkan fenomena Bugis terkenal yaitu sirik: sebuah pandangan di Sulawesi Selatan yang lazim dimaknai sebagai rasa “malu”.

Dalam pengertian ini, pemulihan harga diri seseorang yang seringkali dilakukan dengan paksa diyakini akan meng- hapus rasa malu tersebut.

Di antara orang Bugis yang dibawa ke Makassar sebagai buruh terdapat Arung Palakka, seorang keturunan ningrat dari Soppeng.  

Bersama  sejumlah  pengikutnya,  beliau berhasil melarikan diri dari Makassar; mula pertama mereka ke Buton sebelum akhirnya mencari suaka di Batavia, pusat VOC dan di tempat itu mereka disambut serta diberikan sebuah kawasan permukiman di luar kota yang dikenal dengan nama Angke; itu sebabnya orang Bugis di tempat itu juga dikenal sebagai To-Angke yaitu orang dari Angke”.

Sementara hidup dalam suaka di Batavia, Arung Palakka beserta orang Bugis para pengi- kutnya dipekerjakan sebagai serdadu tambahan dalam aksi-aksi militer di pesisir Barat Sumatra yang kemudian berhasil melenyapkan cengkra- man orang Aceh atas permukiman Minangkabau di tahun 1666.

Keberanian serta kesetiaan orang Bugis dicatat oleh pihak Belanda, sehingga ketika mereka merencanakan sebuah serangan terha- dap pelabuhan Makassar di kerajaan Gowa, yang merupakan saingan utama VOC, Belanda mencari dan  memperoleh  dukungan  dari  Arung  Palakka.

Arung Palakka menjadi sangat dihormati oleh orang Bugis, dan ketika kembali bersama armada Belanda, beliau berhasil membujuk banyak pejuang Bugis untuk bergabung ke pihaknya sehingga mereka, para penyerang, memperoleh kemenangan.

Kendati didukung bantuan besar dari para pejuang Gowa bersama, mereka akhirnya dikalahkan untuk pertama kali di tahun 1667, dan akhirnya untuk kedua dan terakhir kali di tahun 1669; dan dengan demikian berakhir pula Perang Makassar yang berkepanjangan (1666-1669).

Latar Belakang terkait Isi Surat

Surat ini merujuk pada Perjanjian Bungaya yang menutup tahap pertama Perang Makassar di tahun 1667, yaitu ketika rakyat Bugis memperoleh kembali harga diri mereka, dan dengan demikian juga menghapus beban menanggung sirik.

Hadiah tak ternilai yang diberikan kepada orang Bugis oleh pihak Belanda menyebabkan mereka tetap setia tak tergoyahkan pada VOC seperti yang diperlihatkan Arung Palakka dan  penggantinya,

La Patau sepanjang hidup mereka. Ketika Arung Palakka menduduki tahta kerajaan Bone di tahun 1672, beliau menjadi pemimpin yang tidak diragukan lagi bagi seluruh jazirah Sulawesi dan beliau dijamin mendapat dukungan menyeluruh dari pihak Belanda.

Barang siapa pun yang ditengarai tidak setia terhadap beliau, digeser dari kekuasaan, dipaksa untuk melarikan diri ke luar kawasan atau dihukum.

Akibatnya, terjadi gelombang pelarian besar-besaran dari Sulawesi dan banyak di antara mereka digeser dari jabatannya di sejumlah keraja- an di nusantara ketika itu. Rujukan terkait menu- runkan To-Ésang sebagai penguasa Soppeng oleh Arung Palakka adalah salah sebuah contoh yang mencerminkan keadaan dalam kurun waktu ber- sangkutan.

Kematian Arung Palakka di tahun 1696 membuka peluang bagi mereka yang sebelumnya dikucilkan atau digeser untuk menuntut pengakuan kembali. Usaha To-Ésang untuk memperoleh tahta Soppeng menjadi pokok persoalan surat ini, beserta penjelasan panjang lebar yang diberikan oleh  La  Patau and  Daeng  Talele,  yaitu mereka yang paling dekat dengan Arung Palakka, dan dapat dinilai sebagai contoh terkait cara mereka berdua berusaha mempertahankan warisan Arung Palakka di jazirah tersebut.

Sepanjang masa kekuasaannya, La Patau dihadapkan pada sejumlah tantangan seperti yang diuraikan dalam surat ini, yang berhasil diatasinya dengan dukungan menyeluruh dari pasukan serta pemerintah Belan- da yang berkedudukan di Benteng Rotterdam di Makassar.

Pustaka tambahan yang disarankan

  • Andaya, Leonard Y. The Heritage of Arung Palakka: A History of South Sulawesi (Celebes) in the Seventeenth Century. The Hague: Marti- nus Nijhoff, 1981.
  • Andaya, Leonard Y. Warisan Arung Palakka: Sejarah Sulawesi Selatan Abad Ke-17. Makassar: Ininnawa, 1st printing 2004, 2nd printing 2006.
  • Cummings, William (tr. & ed.). The Makassar Annals. Leiden, KITLV Press, 2010.
  • Gibson, Thomas. “The Sea King and the Emper- or”. Chapter 7 in Gibson, And the Sun Pursued the Moon: Symbolic Knowledge and Traditional Authority Among the Makassar. Honolulu: Uni- versity of Hawai’i Press, 2005.

Terjemahan bahasa Indonesia

L.Y. Andaya, “Surat Raja Bone, La Patau Paduka Sri Sultan Indris Azim ud-din (brku- asa 1696-1714) dan Sira Daeng Talele Karaeng Ballajawa kepada Pemerintah Agung, 1697”.

DARI: CATATAN HARIAN (DAGHREGISTERS) BATAVIA, 29 JUNI 1697 [MULAI FOL. 484]

Terjemahan surat dalam Bahasa Melayu yang ditulis Raja Bone dan Dain Telille ditulis dan ditujukan kepada para Yang Mulia di Pemerintah Agung di Batavia, [fol. 485]

Surat ini berisi ungkapan tanda kasih sayang tulus dari lubuk hati dan disertai salam hormat mendalam dari Paduka Raja Bone dan Paduka Bunda Poetri Daing Telille, semoga Yang Maha Kuasa berkenan menghantarkan berkat kepada Yang Mulia Tuan Gubernur Jenderal Willem van Outhoorn beserta para anggota Dewan Hindia yang oleh Tuhan telah dimuliakan serta ditingkatkan kedudukannya, dst.

Selanjutnya, bersamaan dengan surat Yang Terhormat beserta semua hadiah yang menyertainya, maka kami pun berharap semoga semua itu dapat diterima dengan segala upacara serta hormat yang sepantasnya.

Ketika membaca surat tersebut, kami mendapatkan betapa setiap kalimatnya berisi butir-butir mutiara kebijakan yang sangat berharga dan berdasarkan kata-kata hebat Yang Mulia tersebut, kami menjadi sangat bergembira serta berpuas hati karena dapat memahami tanggapan baik Yang Mulia terhadap semua yang diutarakan serta dimohonkan oleh kami, rakyat Bone.

Selanjutnya, kepercayaan kami semakin bertambah oleh karena kami telah melihat betapa semua itu sudah pula diwujudkan oleh berbagai hadiah serta kemudahan yang diberikan oleh Yang Mulia.

Dengan rasa hormat tertinggi, kami memenuhi sejauh kemampuan kami apa yang terkandung dalam surat Yang Mulia, yang juga menyebutkan perihal kontrak Bungaya. Berdasarkan Kontrak tersebut, dan hanyalah dengan hal itu, kami memperoleh kebebasan sehingga sebagai rakyat Bone dan Soppeng, kami akan kembali melaksanakan hukum dan mengelola semua hak milik kami. Dalam pengampunanNya, Tuhan telah dengan gamblang menjelaskan kepada kami bahwa hanya Kompenilah yang telah memulihkan kehormatan serta nama baik kami, rakyat Bone dan Soppeng [fol. 486].

Oleh sebab itu kami memiliki kepercayaan besar pada Kompeni dan kami senanti- asa berterima kasih, tidak hanya oleh karena apa yang telah disebutkan dalam surat terhormat Yang Mulia, yang menjadi bimbingan serta pengajaran bagi kami, melainkan juga oleh karena Yang Mulia telah dengan murah hati menyebutkan pula jasa-jasa baik yang telah diberikan oleh almarhum Tuan kami kepada Kompeni.

Oleh sebab itu, sungguh besarlah rasa kasih sayang Yang Mulia kepada semua orang yang menjadi ahli waris almarhum Tuan kami, yang telah memperoleh kembali kebebasan mereka dari Yang Mulia.

Sejatinyalah, hal ini merupakan alasan mengapa Yang Mulia sudah berkenan menyampaikan bimbingan serta pelajaran terhormat kepada kami, yang semuanya telah meningkatkan kegembiraan serta kehormatan kami.

Selanjutnya, Yang Mulia juga telah memberikan perhatian kepada kami dengan meneliti duduk perkara yang berkaitan dengan Soppeng, dan untuk itu kami sangatlah berterima kasih sebab sejatinya Yang Mulia juga menyadari bahwa ada sejumlah pihak di luar kami yang berusaha keras untuk memberikan masukan tidak benar kepada Kompeni, sehingga apabila hal tersebut tidak disebutkan oleh Yang Mulia, maka kami akan terperangkap dalam pusaran fitnah tersebut dan Kompeni akan tetap tidak menyadari betapa pihak musuh kami telah menebar berbagai kebohongan serta tipu muslihat.

Oleh sebab itu, kami sangatlah berterima kasih serta berpuas hati bahwa Yang Mulia berkeinginan untuk memperoleh lebih banyak informasi serta untuk memahami inti permasalahan yang berkaitan dengan urusan Soppeng.

Untuk memenuhi keinginan tersebut kami awali dengan menyebutkan bahwa ketika Toysangh mulai memperlihat- kan sikapnya yang tidak benar, yang membuat sangat sedih almarhum Raja Soppeng yang sudah membuat surat wasiatnya di Bontoala di hadapan Tuan kami yaitu almarhum Paduka Bone dan selanjutnya [fol. 487] almarhum Raja Bone memutuskan untuk menggelar sebuah pertemuan antara raykat Bone dengan rakyat Soppeng di dusun Soppeng, dengan tujuan agar masing-masing diingatkan pada pemikiran serta perka- taan Laksamana Speelman yang sudah memutuskan untuk melindungi kami, dan juga agar masing-masing pihak dapat merundingkan bagaimana sebaiknya melaksanakan surat wasiat yang dibuat oleh almarhum Raja Soppeng demi kemaslahatan Raja Bone

Selanjutnya, rakyat Bone dan rakyat Soppeng hidup berdampingan dalam suasana keserasian. Mereka mengatakan betapa kesejahteraan serta jaminan hidup mereka pada intinya didasarkan dengan menaati apa yang disebut dalam surat wasiat Tuan mereka, dan sebagai dampaknya,

Rakyat Soppeng dan Bone besatu dan mendukung Dato Dijwasoe yang sudah diangkat menjadi raja Soppeng, dan kemudian secara bersama-sama memutuskan untuk mengenyahkan Toysang. Hal tersebut juga diberitahukan kepada komisaris Dirk de Haas, ketika Yang Mulia tiba di Makassar dari Ambon. Kami berpegang teguh dan tetap bertahan pada hal ini.

Untuk selanjutnya, terkait dengan sebab musabah ataupun dengan pokok-pokok persoalan Soppeng, maka ketika kami ditinggalkan oleh tuan kami, almarhum Paduka, maka kami pun membangun baginya sebuah makam di Goa, dan kami pun menjaga makam tersebut.

Hamba pun juga diundang oleh Raja Goa agar datang ke istana beliau, dan Raja Goa pun berkata kepada hamba, saya sudah mengirim sebuah surat kepada Toysangh dan mengatakan kepadanya bahwa janganlah anda mengambil tindakan apapun sebelum mendengarkan serta memahami dan mengikuti kata-kata saya. Raja Goa pun berucap bahwa Toysangh tidak menjawab dan dengan demikian maka sikapnya itu sudah pasti tidak benar.

Semenara itu, hamba tidak berniat menjawab apa yang dikatakan Raja Goa. Sesudah 20 hari berlalu sejak kami [fol. 488] meletakkan jasad beliau dalam kubur, maka kami pun kembali ke Bantowala, dst. dan tiba pada hari ke-29 bulan Juli.

Ketika Dayangh Balykang tiba pada kami, atas perintah Raja Goa, dan berkata kepada kami, apakah Raja Bone juga mengetahui bahwa Toysang sudah kembali ke kerajaan Soppeng? Dan bahwa Dato Dywatoe telah diusir keluar dari kerajaannya? Ketika itu kami orang Bone baru mendengar untuk pertama kalinya tentang prakarsa Toysang yang memerintah- kan dari Menpoe agar rakyat Soppeng juga tunduk kepadanya, dan untuk membantu- nya dengan persenjataan.

Para pemimpian rakyat Soppeng adalah Ladayang dan Toubaku, yang telah masuk ke dusun kami dengan membawa senjata mereka, yaitu ketika kami tidak berada di tempat itu, dan dusun kami kosong, dan kami diberitahukan tentang hal tersebut oleh seorang dari Bone yang berasal dari Bugis, sehingga membuat hati kami sangat kacau.

Dan oleh karena itu kami telah mengumpulkan semua rakyat Bone di Bantowala untuk memberitahukan mereka tentang isi surat warisan Tuan kami, almarhum Raja Sop- peng yang telah diberikan kepada Paduka raja Bone.

Kami pun telah bersepakat dengan Arong Itoe untuk pergi dari Bone ke Soppeng ber- sama semua raja/kepala dan mengumpulkan semua rakyat Soppeng untuk mempel- ajari surat wasiat yang disebutkan tadi yang sangat berkepentingan dengan kehidupan serta kesejahteraan kami.

Ketika kami memasuki benteng dan mohon kepada guber- nur Isaek van Thije agar diperbolehkan pergi ke Tsienrana, tanpa mengatakan apa-apa lagi, maka dalam hati kami tidaklah ada niat untuk melakukan kejahatan kepada Bone dan Soppeng,

Sesudah pergi ke Tsienrana, kami berjumpa dengan seorang utusan yang [fol. 489] berkata kepada kami bahwa mereka tidak menjawab pihak Soppeng. Sete- lah tiba di Tanete, kami memerintahkannya untuk kembali ke Soppeng dengan tugas untuk mengatakan kembali apa alasan kami, tetapi ini pun tidak mendapat jawaban.

Sementara itu kami terus berjalan hingga tiba di sebuah tempat istirahat yang ber- nama Toudangang, dan di tempat itu datang seorang utusan yang mengatakan bah- wa Raja Bone Soppeng tidak akan datang, dan utusan itu melihat rakyat kami beserta persenjataan dari rakyat Soppeng, dsb.

Akhirnya kami tiba di Tsienrana dan di tempat itu kami mendengar bahwa rakyat Soppeng telah memerintahkan rakyat Toraja untuk membangun sebuah benteng dengan harapan bahwa akan dapat digabungkan dengan benteng dari Mandar, dan juga dengan yang di Wadzio, Sedinre, Sowyto, Mohyna, Maichyna, Hyryna, Manpoe dan yang lama di Arong-Tenete, Arong Ougziongh, ter- masuk rakyat dari Patan Panoya, dan semua ini kami ketahui oleh karena rakyat ber- sangkutan sudah memperlihatkan sebuah surat yang dikirim oleh rakyat Soppeng.

Pada hari ke 20 bulan September, Dyang Mambanu tiba, diutus oleh Toysang dan berkata bahwa Toysang bersama Dato Djiwato sudah bergabung, dan bahwa yang bersangkutan telah mengutus (Dajang Mambanu) ke sana untuk mengatakan bahwa akan menjadi baik apabila Raja Bone mempertimbangkan untuk mejalin tali persaudaraan dengan tanah Bone dan Sopeng, seperti yang telah diputuskan sebelumnya.

Kami pun menjawab bahwa tujuan utama kami juga demikian dan sebab itu kami juga sudah seringkali mengirim utusan kami dengan maksud agar mempunyai tempat tetap bagi Bone dan Soppeng [fol. 490] kendati anda sekalian tidak menghendakinya demikian.

Pada hari pertama bulan Oktober, Raja Soppeng tiba di Tsienrana, dan hanya didam- pingi dua orang keturunan raja dan seorang budak. Maka hamba pun bertanya kepada beliau, benarkah bahwa tuanku sudah bergabung (memiliki tempat bersama) dengan Toysang?

 Dan  bahwa  Dayang  Mambanu  telah  diutus  ke  tempat  tersebut?  Jawaban raja Soppeng, saya tidak memiliki hubungan dengannya, dan katanya selanjutnya, Oh Ayahanda, alasanku pergi menghadap semua hanyalah untuk mencari perlindungan dan untuk mengabdi kepada ayahanda oleh karena saya telah pun diusir dari kerajaanku oleh rakyat Soppeng, sementara Toysang telah mengangkat dirinya sendiri menjadi Raja Soppeng, dan semuanya itu saya ketahui karena saya telah mendengar gendang dibunyikan dan kabar dari rakyat yang telah memberikan sumpah setia kepadanya, dan merampas apa yang sudah diberikan kepada hamba oleh Tuanku.

Pada tanggal 2 Oktober, ketika kami hendak berangkat ke Bugis, rakyat Bone mela- kukan apa yang mereka minta dari gubernur Van Thije, sementara mereka menyadari bahwa sesuai adat kebiasaan lama, mereka akan mengangkat Raja Bone menjadi raja kerajaan mereka dan akan dibentangkan di atas kepadanya payung emas kerajaan.

Ketika pekerjaan kami ini sudah selesai, maka [raja] memerintahkan rakyat Bone untuk memberikan sejumlah hadiah dan barang kepada rakyat Soppeng. Dan kami pun membawa masuk surat wasiat dari almarhum raja Sopeng yang dibuat untuk Paduka raja Bone [yang kami pun lakukan]. Akan tetapi rakyat Soppeng menolak, dan bahkan menyerang dusun [fol. 491] tuan kami Datsyta dan merampok serta menghancurkan semua penduduk, begitu juga mereka lakukan terhadap dusun Wato.

Ketika itu seorang utusan dari Marobo datang kepada kami dan minta bantuan kami sambil mengataan bahwa kami juga harus membantu mereka,  sehingga  membuat kami sangat sedih, sementara kami tidak dapat mengatasi dua perkara rakyat Soppeng ini, mula pertama bahwa seseorang telah melakukan perubahan pada kata-kata yang diucapkan oleh Laksamana Speelman dan kedua bahwa seseorang telah mengubah apa yang sudah dilakukan oleh almarhuam Tuan kami.

Kami sangatlah tersinggung oleh apa yang dilakukan Toysangh, yang telah mengubah banyak dalam urusan almar- hum Tuan kami, dan kami pun khawatir, apabila kami tidak menangani masalah ini, kemungkinan Kompeni juga akan menarik kembali rasa kasihnya dari kami.

Kami pun kemudian melanjutkan perjalanan ke Soppeng dan tiba pada tanggal 11 Oktober di Tanatengah, dan kami melewati sebuah sungai besar dan kembali memerintahkan untuk memberikan sejumlah barang kepada rakyat Soppeng dengan mengatakan agar mereka memerhatikan, tetapi mereka tidak bersedia menerimanya.

Kami melanjutkan perjalanan hingga ke dusun Mare-Mare ketika Dayang Malaba tiba pada kami dan berkata bahwa apa yang disebutkan dalam surat wasiat Tuan kami, almarhum Raja Soppeng yang dibuat untuk Paduka Raja Bone Marhum.

Kami pun menjawab betapa kami sepenuhnya gembira bahwa mereka memerhatikan dan menghormati surat wasiat tersebut, dan bahwa akan menjadi hal baik apabila Bone dan Soppeng bersatu dan bersama-sama [fol. 492] mengusahakan untuk melaksanakan apa yang disebutkan dalam surat wasiat bersangkutan dan melaksanakan apa yang dikehendaki oleh tuan kami. Dayang Malaba pun menjawab, biarlah hamba kembali dahulu untuk merundingkan semua ini dengan rakyat Soppeng.

Kemudian Dayang Malaba pergi ke Soppeng dan tiba di sana di pagi hari, dan mengatakan bahwa keesokan hari kami dari Bone dan Soppeng akan bersatu.

Itu sebabnya pula kami kemudian menjadi ceroboh, lalu berjalan hanya di malam hari.  

Sementara  itu  orang-orang  Soppeng  berjalan  dengan  membawa  senjata  dan mengusir kami, akan tetapi kami bertahan, namun ketika orang-orang Bone melihat bahwa kami juga diusir oleh orang-orang Soppeng, maka mereka pun menyandang senjata mereka dan menghampiri kami.

Kami pun memerangi mereka dengan seru dan kendati kami sangat lelah kami menyerang mereka di pagi hari dan bertempur mela- wan mereka hingga malam hari, sehingga mereka kalah dan melarikan diri.

Ketika Dayang Malaba kembali bergabung dengan kami, dia pun berkata bahwa beli- au telah datang untuk menerima surat wasiat Tuan kami, dan bersama dengannya ada Arang Saloutango dan Toubagi, sementara mereka semua adalah sebab musabab segala perselisihan ini. Kami pun menjawab, O Dayang Malaba, apa pula yang kami miliki?

Anda sekalian sudah tidak mengikuti isi surat wasiat tuan kami, dan mulai menyerang kami, tidakkah kalian ingat itu, maka esok kami akan mulai bersatu.

Pada keesokan pagi kami mengadakan rapat, yaitu rakyat Bone dan rakyat Soppeng [fol. 493] dengan tujuan untuk bersatu padu dan melakukan kehendak tuan kami, almarhum Raja Soppeng seperti yang diucapkan kepada almarhum Raja Bone.

Oleh sebab itu kami membuat maklumat bersama bahwa sejauh menyangkut kesejahteraan dan keselamatan kami, kami memutuskan bersama untuk membunuh Arong Saloutongo dan Toubagy, sesuai jalan kematian keturunan raja-raja Bone dan Soppeng dan semuanya yang memerangi tradisi serta hukum dusun dan oleh karena kedua orang ini sudah melanggar hukum dusun maka mereka pantaslah dibinasakan.

Sesudah melaksanakan semua ini kami pun pulang kembali ke Tsienrana dengan dii- kuti oleh rakyat Soppeng untuk menghadap kepada tuan kami (Dato Dywatoe), Raja Soppeng dan menempatkan beliau kembali dalam kedudukannya.

Ketika kami tiba di Tsienrana, raja Dato Dywatoe kembali kepada kerajaan Soppengnya tanpa menghadapi kendala dan terciptalah persatuan antara rakyat Bone dan Soppeng. Demikian diberi- tahukan sesuai kebenaran dan kejujuran, dan berakhirlah urusan Soppeng. Selesai.

Pada akhirnya, seperti yang dinyatakan dalam surat yang dimeterai dari Paduka raja Bone kepada tuan gubernur jenderal dan para anggota Dewan Hindia, dan  disam- paikan oleh sepuluh orang budak, dan dari Paduka Poetry Daying Telille, dua budak perempuan. Itulah yang dikirimkan kepada kami, kendati nilainya tidaklah sesuai dengan isi surat. Selesai.

Ditulis di dusun Bantawalo, di kerajaan Bone. Pada hari dan tanggal 29 bulan Majus tahun ini.

SUMBER:

L.Y. Andaya, “Surat Raja Bone, La Patau Paduka Sri Sultan Indris Azim ud-din (brkuasa 1696-1714) dan Sira Daeng Talele Karaeng Ballajawa kepada Pemerintah Agung, 1697.” Dalam: Harta Karun. Khazanah Sejarah Indonesia dan Asia-Eropa dari arsip VOC di Jakarta, dokumen 17. Jakarta: Arsip Nasional Republik Indonesia, 2014.

Related Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *