Oleh : MUHLIS HADRAWI
Semoga Saya tidak kualat/ Semoga Saya tidak kena tula/
Semoga tidak tersalah mengurai kisah keturunan mulia bermahkota/ Menyapa tunas bangsawan di pertiwi,
anak-cucu Manurung dari Botillangi/ Di awal kata saya memohon izin mengurai kisah anak-cucu bangsawan sang Mangkau’
Puatta La Patau Matanna Tikka
Tanggal 5 April 1696 M Puatta’ Petta Torisompaé La Tenritatta To Unru Daéng Sérang Arung Palakka berpulang ke haribaan Allah SWT di Bontoala/ Beliau diberi gelar anumerta Matinroé riBontoala/
Lantas siapakah pewaris tahta Mangkau’ Boné selanjutnya? Tidak lain ialah ponakan kesayangannya bernama La Patau, yang disapa Malaésanra. La Patau lahir pada tanggal 3 Nopember tahun 1672 M. Selanjutnya, pada tahun 1696, pada usia 24 tahun, masih muda, beliau pun dilantik menjadi Raja menggantikan Puatta’ La Tenritatta Arung Palakka. Nama lengkapnya adalah La Patau’ Matanna Tikka Walinonoé To Tenribali Malaésanra Sultan Muhammad Idris Adzimuddin dengan gelar anumerta Matinroe ri Nagauleng.
Siapakah Puatta’ La Patau?
Alena adalah Seorang pemuda gagah dengan tatapan mata laksana matahari bersinar adalah seorang putra dari salah satu saudari kandung Arung Palakka yang bernama Wé Mappolobombang Da Ompo Wé Tenriwale’ Maddanreng Palakka Matinroé ri Ajang Appasareng, yang ayahnya bernama La Pakokoé To Angkoné Tadampalié Arung Timurung yang disapa Macoméngngé/
Darah yang mengalir dalam tubuh Puatta’ La Patau’ memantaskan beliau sebagai pewaris Mangkau’ Bone, memangku Ranreng Tuwa dan Arung Ugi Wajo waris dari sang ayah, La Pakokoé. Itulah kemudian La Patau diberi gelar Malaesanra. Bukan saja Bone dan Wajo, La Patau, lelaki penuh pesona itu, menjadi pilihan memangku ke-Datu-an Soppéng.
Pada suatu ketika utusan Matowa Soppeng memintanya menggantikan La Tenribali Matinroé Datunna yang telah mangkat.
Pada awalnya, permintaan Hadat Soppeng itu ditolaknya, karena menurutnya masih menjadi kewenangan La Pasompereng Arung Téko dan Daéng Mabani yang keduanya masih berstatus sebagai Sullé Datu Soppéng.
Namun pertimbangan utama Puatta sesungguhnya ia tidak mau melangkahi Wé Ada’, sang tante, anak dari Matinroé ri Datunna, karena menurutnya, We Ada’-lah yang paling pantas memangku ke-Datu-an Soppéng saat itu.
Akan tetapi, ketika We Ada’ pun wafat, maka serta-merta Hadat Soppeng kembali memintanya untuk menerima ke-Datu-an.
Permintaan Hadat Soppeng kali kedua ini barulah diterimanya. Maka sejak itu Puatta’ La Patau pun duduk sebagai Datu Soppeng. Kasus ini menunjukkan bahwa Puatta’ La Patau meruapkan pribadi yang menjunjung etika sekaligus menaati Wari’ Arajang.
Pada masa pemerintahan Puatta’ La Patau’ Malaésanra, hubungan Bone dan Wajo mulai mesra kembali sebagai saudara kandung.
Selain sebagai Mangkau’ Bone, Datu Soppeng, alena Puatta’ juga sebagai Ranreng Tuwa dan Ugi di Wajo. Beliau menjadwal waktunya sekali dalam sebulan pergi ke Ujuppandang, untuk melihat keadaan orang-orang Wajo di sana.
Tercatat dalam lontara bahwa, Puatta’ kemudian mengangkat jabatan Matowa sebagai orang yang mewakili dirinya apabila ia tidak berada di Ujungpandang. Puatta’ kemudian melantik Amanna Gappa sebagai Matowa bagi kalangan orang Wajo di Ujungpandang.
Bagi Puatta’ To Risompae, La Patau’ adalah tumpuan yang akan menciptakan regenerasi pewaris tahta Bone untuk menjalin kekerabatan para raja Bugis dan Makassar melalui perkawinan.
Maka atas prakarsa Petta Torisompaé, La Patau kemudian dikawinkan dengan putri Pajung Luwu Matinroé riTompotikka, bernama Wé Ummu Arung Larompong.
Wé Ummu melahirkan dua orang anak, seorang bernama Wé Bataritoja Daéng Talaga sebagai pewaris tahta Timurung dan Citta. Sedangkan anak ke dua Anak bernama Wé Patimanaware sebagai pewaris Larompong yang disapa Opu Datu Larompong. Wé Bataritoja Daéng Talaga-lah yang kemudian mewarisi Pajung Luwu, sekaligus Mangkau di Boné, dan Datu di Soppéng.
Petta Torisompaé mengawinkan lagi Puatta’ La Patau di Gowa dengan I Mariyama Karaéng Pattukanga, anak raja Gowa I Mappadulung Daéng Mattimung Tuménanga riLakiung/ Dengan kesepakatan bahwa, dari perkawinan ini, anak yang lahir dari rahim I Mariyama dan Puatta’ La Patau’ Matanna Tikka Walinonoé akan mewarisi tahta Gowa.
Empat orang anak yang tercatat lahir: 1) Wé Yanébana I Da Patola Karaéng Cempagaya; 2) La Pareppa To Sappéwali; 3) La Paddasajati To Appaware’; dan La Panaungi. Ketiganya menjadi bangsawan pewaris mahkota Boné dan Gowa.
Puatta’ La Patau mempunyai anak bangsawan sederajat lain bernama La Temmassonge’ yang disapa La Mappasossong To Wappaséling. Namun, La Temmassonge’ didudukkan sebagai bangsawan cera’ oleh saudara tiri lelakinya setelah Puatta’ Malaé Sanra wafat.
Sehingga ia diberi status sebagai ana’ angilengngé (pangeran pilihan). La Temmassonge’ pun diposisikan sebagai pewaris tahta di Baringeng dan diberi gelar Datu Baringeng.
Catatan lontara Bone mengungkapkan bahwa, hanya ada dua istri Puatta’ La Patau’ yang diakui sebagai manettu pada (menantu permaisuri) Puatta’ Petta Torisompaé. Pengakuan itu didasari keinginan Puatta’ Matinroé riBontoala agar kebangsawanan Boné tidak diturunkan derajatnya.
Oleh karena, berawal dari Puatta’ Manurungngé Matasilompo’é sampai pada Puatta’ Malaésanra belum ada campur-baur kemurnian darah kebangsawnan yang menjadi Raja di Boné.
Belum pernah juga didudukkan bangsawan cera’ sebagai raja Bone. Pun, tidak pernah diwariskan tahta kepada bangsawan rajéng.
Sebenarnya, Wé Pattékkétana yang merupakan keponakan Puatta’ Petta Torisompaé berstatus anaure pada atau bangsawan sederajat dengan keturunan La Patau’ Matanna Tikka To Walinonoé. Akan tetapi, Puatta’ tidak memberinya wasiat untuk bertahta di Boné.
Hanya saja Wé Pattékketana mendapatkan warisan harta benda dari Puatta’ Petta Torisompaé, selain ia mewarisi tahta lili akkarungeng yaitu Pattiro beserta isinya.
Setelah Puatta Arung Palakka wafat, Alena La Patau mengawini wanita bernama Sitti Maémuna, putri Karaeng Marusu. Siti Maemuna disapa I Lolo Kaluku ri Maru dan menjabat sebagai Dala di Maru. Puatta’ Malaésanra juga memperistri Datu Baringeng bernama I Akiya.
Oleh karena tidak boleh menduakan perempuan bangsawan Boné sebagaimana ketetapan Petta Torisompaé, sehingga seluruh anaknya dari Datu Baringeng, diakui oleh Sitti Maémuna dan mereka diberi status darahnya sebagai bangsawan cera’. Itulah sebabnya diberi status céra’ rimanessaé, sengngeng ri mallinrungngé. Akan tetapi. statusnya tidak disebut sebagai ana’mattola, kecuali sebagai ana’ angiléng atau anak pilihan.
Adalah La Mappasoré To Asipuang yang disapa To Laowé riBawéang dan Seorang lagi bernama La Temmassonge’ La Mappasossong To Wappaséling. Puatta’ La Temmassonge’ Datu Baringeng inilah yang diberi wilayah kuasa di Baringeng oleh Wé Bataritoja Daéng Talaga.
Beliau menjabat sebagai Ponggawa Boné pada masa pemerintahan We Bataritoja. We Bataritoja sangat menyayangi saudara tirinya ini, sehingga dijadikannya sebagai pewaris harta serta negeri kekuasaannya yang diwariskan dari Puatta’ La Patau’ Matanna Tikka.
Puatta’ La Patau Malaésanra juga memperistri Wé Rakiya putri dari Bantaeng, kemudian mendudukkannya sebagai Dala Bantaéng. Puatta’ juga memperistri Wé Biba perempuan dari Unynyié dan memberinya seorang anak laki- laki bernama La Tangkileng To Appangéwa. Selanjutnya, Puatta’ La Patau’ Malaésanra memperistri lagi Wé Maisa perempuan dari Lémoape’ yang melahirkan dua orang anak, La Maddinusa dan seorang lagi lahir mati.
Lagi-lagi, Puatta’ Malaésanra memperistri wanita bernama Wé Léta perempuan dari Baloé, dan melahirkan Wé Céllai. Dalam catatan lontara, beliau masih memeliki beberapa istri lain.
Dikisahkan bahwa Puatta’ La Patau’ sangat tertib pada Ade’ Puraonroé. Beliau tidak menerima apabila hukum atau norma-norma negeri atau kebiasaan diubah-ubah. Dia tidak menyukai pemadat.
Ada dua anaknya yang dihukum mati karena memadat. Seorang ia bunuh melalui tangannya sendiri, dan seorang lagi diwakili orang lain. Pada masanya, Adat berdiri dengan tegak dan mulia. Tidak seorang pun penegak hukum yang berani mencoba bertindak curang yang melemahkan Hukum Kerajaan Bone.
Bayangkan saja, anak kandungnya sendiri dia jatuhi sanksi berat ketika melakukan pelanggaran hukum. Beliau tidak memiliki rasa iba sedikitpun demi menegakkan supremasi hukum kerajaan. Dalam hal penegakan hukum, meskipun anak kandung pewarisnya, jika memang terbukti bersalah, maka dia pun perlakukan seperti rakyat biasa.
Semboyang Puatta’ La Patau:
Salako salano, mupatujupa muancaji ana’ku
Jika engkau salah, maka salahlah dirimu. Apabila engkau sudah benar,
maka barulah engkau kuakui sebagai anakku.
Tentu saja dalam deretan bangsawan dan raja-raja di Sulawesi Selatan, pribadi Puatta’ La Patau tak dapat disangkal sebagai aristokrat yang sangat kukuh menegakkan hukum atau ade ri lalempanuwa.
Tergambarkan pribadi beliau sebagai raja yang berprinsip teguh (magetteng) dalam penegakan hukum. Beliau tidak pandang bulu dan tidak membeda-bedakan orang, termasuk anak kandungnya sendiri.
Meskipun anak darah-dagingnya, jika memang ia melakukan perbuatan lalu diputuskan bersalah secara hukum, maka sanksi pun dijatuhkan, tidak terkecuali hukuman mati jika memang pantas menerimanya.
Tinta emas telah tertuang dalam masa hidupnya, tak terbilang prestasi yang digapainya. Memang hidup ada awal, dan ada pula titik akhir. Pada tahun 1714 Puatta’ La Patau’ Matanna Tikka Walinonoé To Tenribali Malaé Sanra Sultan Idris Adzimuddin berpulang ke Rahmatullah.
Beliau kemudian dimakamkan di Nagauleng sebagai peristirahan terakhirnya. Beliau kemudian diberi gelas anumerta Matinroe ri Nagauleng. Kini Puatta’ terbaring di makamnya di Nagauleng diapit oleh makam dua permaisurinya bine pada yaitu Wé Ummu Datu Larompong dan I Mariyama Karaeng Pattukangang.
Puatta’ La Patau Matanna Tikka
Telah menorehkan tinta emas
Terlahir kekerabatan sedarah di kerajaan tanah Sulawesi Kami ini anak-cucumu
Semua bersaudara karena berasal dari tune’ yang sama Engka menennie wija-wijammu
Tudang majjareng Nakibirttaiyyakki’ doa Alfatihah,