Pada hari kamis, 25 Oktober lalu berlangsung sebuah peristiwa penting dalam sejarah budaya Sulawesi setelah perjuangan panjang selama 10 bulan, “Lontara Attoriolong Bone” akhirnya diakui sebagai ikon nasional.
Sertifikat kehormatan ini diterima langsung oleh Andi Ansar Amal, pemilik naskah, yang juga merupakan keturunan dari keluarga kerajaan Bone.
Di balik penyerahan sertifikat tersebut, terdapat usaha dan dedikasi tak terhingga dari berbagai pihak yang tak kenal lelah memperjuangkan pengakuan ini. Prof. Dr. Muhlis Hadrawi, seorang ahli filologi dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin (FIB UNHAS) dan aktifis Perkumpulan Wija Raja La Patau Matanna Tikka (PERWIRA LPMT) yang turut menggagas prosesi tersebut, turut hadir dan memberikan sambutannya.
Wajahnya memancarkan kebanggaan ketika ia mengatakan, “Hari ini kita mencetak sejarah, ‘Lontara Attoriolong Bone’ telah menjadi ikon nasional.” Piagam penghargaan Lontara Attoriolong Bone.
Baginya, naskah tersebut bukan sekadar tulisan kuno yang tersimpan dalam lemari arsip, melainkan lembaran-lembaran kehidupan yang merekam perjalanan panjang Kerajaan Bone, salah satu kerajaan besar di Sulawesi Selatan.
Lontara ini mencatat sejarah Bone sejak abad ke-14 hingga pertengahan abad ke-20, sebuah periode yang panjang dan penuh warna. Lontara Attoriolong Bone adalah sebuah kronik yang sangat berharga, berisikan kisah-kisah raja-raja Bone, hubungan antar kerajaan, perang, perdamaian, hingga kisah-kisah tentang keluarga kerajaan dan keputusan-keputusan penting yang diambil dalam dinamika sosial-politik yang rumit.
Namun, yang paling menakjubkan adalah bagaimana semua ini dituliskan dengan gaya sederhana dan jujur, tanpa dramatisasi, namun tetap sarat dengan makna. Penulisan kronik ini menggunakan aksara Lontara, aksara khas Bugis yang melambangkan identitas budaya lokal yang kuat.