Bersama Pj. Bupati Bone, Andi Islamuddin dengan Andi Sapri Pamulu, Ketua Umum Perkumpulan Wija Raja La Patau Matanna Tikka (PERWIRA LPMT) mengujungi makam , La Pawawoi Karaeng Segeri , Pahlawan Nasional yang juga Raja Bone XXXI di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan.
Ziarah makan pada hari ini (01/03) diadakan oleh Pemerintah Kabupaten Bone dalam rangka Peringatan Hari Jadi Bone ke-694 tahun 2024. Menyertai Bupati, turut hadir Sekda Bone, Kadisbud Andi Murni, Kadis Pariwisata Andi Promal Pawi, dan pimpinan OPD lainnya serta Dandim 1407 Bone.
La Pawawoi adalah Raja Bone yang bertakhta sejak 1895 menggantikan saudarinya pada usia 60 tahun. Sebelum menjadi raja, Karaeng Segeri adalah panglima kerajaan dan pernah menjadi Ketua Dewan Kerajaan.
Menurut koran Soerabaiasch Handelsblad (18/12/1905) melaporkan, mulanya yang akan menjadi raja adalah putri dari raja sebelumnya. Belanda menganggap La Pawawoi sebagai orang yang tidak bisa diandalkan. Kala itu, pemerintah kolonial hendak mengambil alih hak ekspor Kerajaan Bone yang sejak lama dikenal sebagai pedagang. Salah satu komoditas yang diperdagangkan adalah kopi dari Toraja.
Sikap perlawanan Bone ditunjukan dengan menolak pajak ekspor impor dari pemerintah kolonial. La Pawawoi dianggap “terlalu mencampuri urusan kerajaan-kerajaan Bugis lain” hingga pemerintah kolonial kesal dan mengirimkan pasukan pada 1905.
Salah satu pengikut yang cukup penting bagi La Pawawoi adalah putranya sendiri hasil perkawinan dengan I Karimba Arung Mangempa, yakni Abdul Hamid Baso Pagilingi, yang dikenal sebagai panglima dengan gelar Petta Ponggawae.Pada tanggal 21 Juni 1905, tiga buah kapal perang disiagakan di sekitar Bone serta raja diultimatum untuk membayar ganti rugi.
Kolonel CA van Loenen memimpin penyerangan atas Bone setelah pasukan didaratkan di Pelabuhan Bajoe. Aksi militer Belanda dimulai pada 21 Juli 1905 dan pertempuran besar terjadi pada 28 Juli 1905. Istana Bone pada tanggal 30 Juli berhasil diduduki tentara Belanda.
Serangan itu menyebabkan La Pawawoi kehilangan putranya di Bulu Awo, perbatasan Siwa dengan Tanah Toraja pada tanggal 18 November 1905. Sementara dia berhasil meloloskan diri. setelah melihat putranya gugur, spontan ia berucap dengan kalimat Bugis yang kental “ RUMPA’NI BONE” (Bobollah Bone).
Inilah yang kemudian dikenal meluas sebagai RUMPA’NA BONE sebagai nama peristiwa perlawanan rakyat Bone terhadap Belanda pada tahun 1905.
Koran De Nieuwe Vorstenlanden (11/09/1905) memberitakan, pergerakan pasukan yang dipimpin Kapten Stipriaan Lulacius–yang terdiri satu kompi pasukan khusus anti gerilya marsose, satu kompi infanteri biasa dan 1 peleton kavaleri–bergerak ke tanah Pitumpanua untuk memburu La Pawawaoi pada awal September.
Tak hanya itu, pasukan lain yang dipimpin Mayor Wijs diberangkatkan ke Luwu lewat laut. Karena La Pawawoi sudah uzur dan kerap digendong pengikutnya. Hal ini membuat mereka tidak begitu sulit diburu oleh para serdadu Belanda. Persembunyian La Pawawoi diketahui oleh militer Belanda dan segera menangkapnya pada 18 Oktober 1905.
Belanda berusaha keras untuk mencegah La Pawawoi untuk pindah ke Tana Toraja, karena di sana Belanda juga tengah memerangi Pong Tiku. Selain itu, Raja Gowa juga sempat berada di sekitar Toraja ketika dikejar-kejar tentara Belanda yang dipimpin Kapten Hans Christoffel. La Pawawoi kemudian ditangkap dan dibawa ke Parepare, seterusnya ke Makassar lalu diasingkan ke Bandung lalu dipindahkan ke Batavia. La Pawawoi tutup usia pada 17 Januari 1911 di Jakarta.
Puluhan tahun kemudian, tepatnya pada 10 Juli 1974, makam La Pawawoi dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. Sementara di Watampone, Bone, nama La Pawawoi diabadikan menjadi nama Museum. Museum La Pawawoi menempati bangunan bekas Istana Andi Mappunyokki Raja Bone ke-32 yang didirikan pada 5 Januari 1971 oleh Bupati Bone, H. Suaib dan akhirnya diresmikan Menteri Pendidikan & Kebudayaan RI, 1 Prof. Dr. Daoed Joesoef pada tanggal 14 April 1982.