Jejak Intelektual La Patau Matanna Tikka

Oleh: H. Ahmad Saransi

La Patau Matanna Tikka, Raja Bone ke-16, bukan hanya dikenal sebagai seorang pemimpin politik dan militer yang berpengaruh di abad ke-17, tetapi juga sebagai seorang intelektual yang memiliki perhatian besar pada dunia literasi. Jejak intelektualnya dapat ditemukan dalam tradisi lontara yang ia tinggalkan, salah satunya tersimpan dalam koleksi Nederlandsch Bijbelgenootschap Nomor 99.

Dalam naskah tersebut, La Patau menampilkan dirinya bukan sekadar raja, melainkan seorang pengumpul dan penata kosakata bahasa Bugis. Ia menuliskan padanan kata yang menggambarkan betapa luas dan kaya nuansa makna dalam bahasa Bugis. Misalnya, untuk kata perempuan ia mencatat beragam istilah: makkunrai, lise’ kalemping, coko, ati goari, èja, hingga lise’ sinrangeng. Begitu pula dengan istilah bulan yang dituliskan dalam variasi uleng, cenrara, conga, palaguna, dan kèteng. Sedangkan kata rumah hadir dalam bentuk bola, pèwaja, kuta, dan sao.

Keragaman kosakata ini menunjukkan kedalaman refleksi La Patau terhadap bahasa dan budaya Bugis. Ia memahami bahwa bahasa bukan hanya sekadar alat komunikasi, tetapi juga cermin struktur sosial, nilai, bahkan kepercayaan masyarakat. Beberapa istilah yang ia catat bahkan berasal dari bahasa Bissu, bahasa sakral yang kerap muncul dalam naskah I La Galigo. Hal ini menegaskan bahwa La Patau mampu menjembatani antara bahasa rakyat sehari-hari, bahasa istana, hingga bahasa ritual.

Seandainya orientalis Belanda Dr. B.F. Matthes datang ke Sulawesi Selatan pada masa La Patau, mungkin ia tidak akan menulis laporan kepada Lembaga Alkitab Belanda bahwa bahasa Bugis lebih sukar dipelajari daripada bahasa Makassar. Sebab, dengan warisan intelektual yang ditulis langsung oleh La Patau, Matthes akan menemukan bahwa bahasa Bugis memang kaya, tetapi juga telah diberi fondasi literer oleh seorang raja yang paham betul arti dokumentasi bahasa.

Jejak intelektual La Patau Matanna Tikka inilah yang menegaskan bahwa kepemimpinannya tidak hanya bertumpu pada kekuatan militer atau diplomasi politik, tetapi juga pada kekuatan pena. Ia adalah seorang raja yang menyadari bahwa kelanggengan budaya dan peradaban terletak pada kemampuan menuliskan dan merawat bahasa.

Related Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *